Total Pageviews

Wednesday, December 16, 2015

SCHIFFER

Di pagi yang cerah di sekolah SMA Bonyari, dia berjalan santai melewati ruangan kelas yang sepi menuju kantin sampai terdengar suara yang membuatnya menoleh kebelakang.
“Oooi Schiffer!” teriakan yang sudah tidak asing lagi ditelinganya dialah Haryono.
“Ya ada apa Har pagi- pagi begini kau sudah mencariku?” tanya Schiffer dengan ekspresi dingin.
“Payah masa kau lupa, hari ini ada PR Matematika dari halaman 93- 95 soalnya susah semua!” sambil ngos-ngosan karena berlari mengejar Schiffer.
“Aku sudah selesai tadi malam”
“Hah yang benar semalam teman- teman menyakan PR itu terus padaku, mereka semua juga belum selesai!”
“Jadi ada apa mencariku?” tanyanya lagi dengan ekspresi yang sama dingin.
“Begini Boss mumpung teman- teman sekelas belum ada yang selesai mengerjakan tugas matematika, nah bagaimana kalau aku pinjam buku catatanmu?”
“Tidak bisa” jawab Schiffer sambil berbalik dan Haryono langsung mencegat Schiffer yang mau berjalan lagi.
“Ayolah kali ini bantu kami ya?”
“Haruskah aku mengatakannya sekali lagi, aku tidak mau membantu!”
Tiba- tiba perutnya berbunyi keras sekali pertanda dia sangat lapar karena pagi tadi dia belum sempat sarapan pagi.
“Baiklah kalau kau mau meminjamkan bukumu itu nanti kutraktir makan bagaimana?” tanya Haryono dengan menaikkan alis berkali- kali.
“Jangan khawatir aku masih ada uang di kantong” merogoh kedua saku celana dan mencari uangnya, seketika itu pula wajahnya menjadi pucat karena uang sakunya ternyata tertinggal di rumah.
“Jadi sudah kau temukan uang sakumu itu” sambil tersenyum geli melihat kawannya yang kebingungan mencari uang sakunya yang sebenarnya tidak ada.
“Gawat uangku pasti tertinggal dilaci kamar tidur, pagi tadi aku lupa mengambilnya” bisik Schiffer, padahal di SMA Bonafit siswa diperbolehkan pulang jam dua siang.
“Baiklah kalau begitu aku pinjamkan!” mengambil buku tugas matematika sambil bergumam “huh kenapa penyakit lupaku selalu membuat sial saja!” dia menyodorkan sebuah buku tugas matematika ”ini bukunya kalau sudah bel berbunyi kembalikan ya!”. “Siap boss nih uang 10 ribu untuk makan di kantin” Haryono memberikan uang 10 ribuan pada Schiffer dan menyabet buku tugas Schiffer kemudian langsung lari menuju kelas sambil berteriak “thank you boss nanti siang makannya kutraktir!”
Schiffer berdiri mematung dan menghela nafas panjang menyaksikan kegembiraan kawannya yang seperti orang kejatuhan hujan emas. Sambil menggelengkan kepala dia kemudian berbalik lagi menuju kantin yang jaraknya hanya tinggal beberapa meter.
Memang Schiffer adalah salah satu anak yang cukup pintar di SMA Bonafit. Dia selalu mendapatkan ranking 2 atau ranking 3 di kelasnya XI IPS. Tapi dibalik semua prestasi itu dia menyimpan masa lalu yang menyedihkan yang terkadang jika dia mengingat peristiwa itu, maka air matanya akan jatuh dengan sendirinya walupun dia sudah berusaha untuk tidak menangis. Peristiwa kelabu yang membuatnya berhenti tersenyum dan tertawa, dan membekas dilubuk hatinya hingga sekarang.
Peristiwa itu terjadi ketika Schiffer baru berumur 6 tahun, saat dia masih duduk di sekolah dasar. Suatu hari kedua orang tuanya mengajaknya pergi jalan- jalan ke pasar malam Palangkaraya. Saat itu terlihat jelas raut kegembiraan terpancar dari Schiffer yang masih kecil ketika orang tuanya membelikan sebuah jam tangan kecil berwarna pink. Ya, sebuah jam tangan sebelum mereka berdua akhirnya meninggalkan Schiffer untuk selamanya.
“Ya mama masa aku dibelikan jam tangan warnanya merah muda. Schiffer kan malu kalau nanti masuk sekolah diejek teman- teman” ujar Schiffer yang wajahnya merah karena di ejek Halwa sewaktu ikut bersama ibunya membeli jam tangan untuk si Halwa.
“Tidak apa Schiffer yang penting kamu bisa memakainya” ujar ibunya “jadi kamu punya sesuatu yang bisa dilihat kalau kamu tidak bertemu mama dan papa lagi” sambungnya sambil mengelus rambut Schiffer ”Ya ma lagipula bentuknya bagus aku suka”.
Lalu seorang lelaki berumur 28 tahun yang wajahnya putih bersih dan suka tersenyum datang menghampiri mereka dialah ayah Schiffer. “Nah itu papamu baru datang beli makanan” sambil menunjuk kearah ayah Schiffer.
“Maaf ya membuat kalian menunggu lama, ini papa beli makanan dari seberang jalan” kata papa Schiffer sambil tersenyum.
“Ah papa ini dari tadi kami sudah lama menunggu, hampir saja kami mau meninggalkan papa pulang” menoleh sambil berkedip ke arah Schiffer yang diikuti dengan senyuman Schiffer.
“Ah kalian ini wajar lah antriannya lumayan banyak” jawab ayah Schiffer sambil tersenyum. “Oh iya Schiffer bagaimana tadi kamu di belikan apa oleh mama?” tanya ayahnya pada Schiffer sambil duduk disamping mereka berdua.
“Aku tadi dibelikan jam tangan bagus sekali” kata Schiffer dengan semangat menggebu pada ayahnya.
“Lalu?” tanya ayahnya
“Lalu mama belikan tapi warnanya pink terus waktu membelinya kami betemu dengan Halwa, melihat jam tanganku dia mengejekku katanya jam tangan itu cocoknya dengan anak perempuan bukan anak laki- laki” jawab Schiffer dengan wajah cemberut.
“Tidak apa- apa asalkan kamu suka kamu boleh memakainya tapi ingat jam tangan itu harus dijaga baik- baik supaya tidak cepat rusak ya” sambil melontarkan senyuman kepada Schiffer dan istrinya. “Karena harinya sudah jam sepuluh ayo kita pulang, nanti besok kamu terlambat masuk sekolah” kata ayah Schiffer lalu berjalan kearah sepeda motor diikuti oleh istri dan anaknya lalu pulang kerumah.
Ketika hampir sampai dirumahnya tepatnya tinggal melewati perempatan jalan lagi, tiba- tiba melintas sebuah mobil dengan kecepatan tinggi melesat dari arah lain rupanya sopirnya agak mabuk minuman keras ketika mengemudi.
“O.K. coy malam ini kita pesta di tempatnya Junaedi” teriak salah seorang yang duduk disamping sopir.
“Yeaahh kita pesta di tempatnya Junaedi disana banyak cewek cakepnya” tukas sopir.
Dua orang yang dibelakang juga tak mau kalah “ooooyyy meeen nanti tanding minum ditempat Junaedi siapa yang kalah bayar 200 ribu” sahut mereka berdua sambil menenggak bir yang isinya hampir habis.
“Okelah kalau begitu” jawab sopir sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Aaaaa! Didepan ada motooor, awaaaaass!”
“Hah” ayah Schiffer menoleh kesamping dan berusaha menghindar dari terkaman mobil maut yang menghampiri mereka di ikuti teriakan Schiffer dan ibunya yang terkejut karena tiba- tiba mobil yang kecepatannya seperti setan gila itu datang menghampiri dan menabrak mereka. Ibunya memeluk Schiffer kuat- kuat dan mereka bertiga terlempar dari sepeda motor, ayah dan ibu Schiffer keadaannya sangat kritis, sedangkan Schiffer pingsan tak sadarkan diri.
“Coyy kita sudah menabrak orang, tiga lagi” kata si sopir.
“Aduh aku tidak mau dipenjara, jadi kita harus bagaimana” tanya rekan disebelahnya sedangkan kedua orang yang duduk dibelakang sopir ketakutan diam seribu bahasa sambil membayangkan jika mereka harus membekam didalam sel yang dingin dan mengerikan jika mereka tertangkap polisi nantinya.
“Ayo cabut men, kita kabur dari sini!” rekan disebelahnya memberi instruksi pada sopir agar segera meninggalkan tempat kejadian. Mereka pun langsung tancap gas melarikan diri dari tempat kejadian.
Sekumpulan anak muda yang berjalan- jalan disekitar perempatan tempat kecelakaan melihat mereka dalam kondisi sangat parah maka mereka berinisiatif mengantarkan mereka bertiga kerumah sakit dan melaporkan kejadian itu kepada polisi, Schiffer selamat, tetapi sayang nasib menjemput kedua orang tuanya.
Schiffer memang selamat tetapi mengalami luka yang cukup parah, kaki kirinya patah dan tangannya lecet sehingga harus dioperasi tetapi untunglah kata dokternya kainya bias dipulihkan selama enam bulan dia harus berada di rumah sakit ditemani paman dan bibinya, paman Alex dan bibi Marina. Selama itu pula wajah Schiffer murung dan menggenggam erat jam tangan pemberian ibunya sambil menangis sesegukan.
“Sudahlah Schiffer jangan menangis nanti ayah dan ibumu akan sedih disana” kata paman Alex sambil mengelus kepala Schiffer mencoba untuk menghiburnya.
“Nah kamu sudah dengar kan apa yang tadi dikatakan paman bukan” kata bibi Marina yang dari tadi duduk disebelah kanan ranjang Schiffer bersama dengan paman Alex. “Jadi kamu tidak usah bersedih lagi karena ayah dan ibumu pasti bahagia di dalam surga” lanjut bibi Marina.
“Ya biarlah kami yang mengasuh dan merawatmu dan anggap saja kami sebagai ayah dan ibumu” kata paman Alex dengan tatapan kasih saying.
“Tapi aku mau ketemu papa dan mama” yang dari tadi menangis mengeluarkan air mata derita karena ditinggal kedua orang tuanya pergi dan takkan kembali lagi.
“Papa dan mamamu sudah tidak ada disini lagi sayang kamu mau membuat papa dan mamamu sedih disana” tanya bibi Marina kepada Schiffer yang dari tadi masih menangis. Schiffer pun menggeleng dan berhenti menangis walaupun air matanya masih jatuh berguguran bagai air mengalir dimusim penghujan dan wajahnya semakin murung karena mengingat peristewa yang telah menghilangkan kedua orang tua dari hadapannya.
“Nah begitu seharusnya keponakan kami” ujar bibi Marina diikuti dengan senyuman paman Alex. “Nanti ketika kamu sudah sembuh kita sama- sama melihat makam papa dan mamamu ya” lanjut bibi Marina yang dijawab dengan anggukan pelan Schiffer pada bibi Marina.
Sejak saat itulah Schiffer tidak pernah tersenyum apalagi tertawa, jika dia melihat jam tangan pink yang diberikan oleh ibunya dulu. Maka pastilah air matanya mengalir walaupun dia sekuat tenaga untuk menghalaunya

No comments:

Post a Comment