Di pagi yang cerah di sekolah SMA Bonyari, dia berjalan santai
melewati ruangan kelas yang sepi menuju kantin sampai terdengar suara
yang membuatnya menoleh kebelakang.
“Oooi Schiffer!” teriakan yang sudah tidak asing lagi ditelinganya dialah Haryono.
“Ya ada apa Har pagi- pagi begini kau sudah mencariku?” tanya Schiffer dengan ekspresi dingin.
“Payah masa kau lupa, hari ini ada PR Matematika dari halaman 93- 95
soalnya susah semua!” sambil ngos-ngosan karena berlari mengejar
Schiffer.
“Aku sudah selesai tadi malam”
“Hah yang benar semalam teman- teman menyakan PR itu terus padaku, mereka semua juga belum selesai!”
“Jadi ada apa mencariku?” tanyanya lagi dengan ekspresi yang sama dingin.
“Begini Boss mumpung teman- teman sekelas belum ada yang selesai
mengerjakan tugas matematika, nah bagaimana kalau aku pinjam buku
catatanmu?”
“Tidak bisa” jawab Schiffer sambil berbalik dan Haryono langsung mencegat Schiffer yang mau berjalan lagi.
“Ayolah kali ini bantu kami ya?”
“Haruskah aku mengatakannya sekali lagi, aku tidak mau membantu!”
Tiba- tiba perutnya berbunyi keras sekali pertanda dia sangat lapar karena pagi tadi dia belum sempat sarapan pagi.
“Baiklah kalau kau mau meminjamkan bukumu itu nanti kutraktir makan
bagaimana?” tanya Haryono dengan menaikkan alis berkali- kali.
“Jangan khawatir aku masih ada uang di kantong” merogoh kedua saku
celana dan mencari uangnya, seketika itu pula wajahnya menjadi pucat
karena uang sakunya ternyata tertinggal di rumah.
“Jadi sudah kau temukan uang sakumu itu” sambil tersenyum geli
melihat kawannya yang kebingungan mencari uang sakunya yang sebenarnya
tidak ada.
“Gawat uangku pasti tertinggal dilaci kamar tidur, pagi tadi aku lupa
mengambilnya” bisik Schiffer, padahal di SMA Bonafit siswa
diperbolehkan pulang jam dua siang.
“Baiklah kalau begitu aku pinjamkan!” mengambil buku tugas matematika
sambil bergumam “huh kenapa penyakit lupaku selalu membuat sial saja!”
dia menyodorkan sebuah buku tugas matematika ”ini bukunya kalau sudah
bel berbunyi kembalikan ya!”. “Siap boss nih uang 10 ribu untuk makan di
kantin” Haryono memberikan uang 10 ribuan pada Schiffer dan menyabet
buku tugas Schiffer kemudian langsung lari menuju kelas sambil berteriak
“thank you boss nanti siang makannya kutraktir!”
Schiffer berdiri mematung dan menghela nafas panjang menyaksikan
kegembiraan kawannya yang seperti orang kejatuhan hujan emas. Sambil
menggelengkan kepala dia kemudian berbalik lagi menuju kantin yang
jaraknya hanya tinggal beberapa meter.
Memang Schiffer adalah salah satu anak yang cukup pintar di SMA
Bonafit. Dia selalu mendapatkan ranking 2 atau ranking 3 di kelasnya XI
IPS. Tapi dibalik semua prestasi itu dia menyimpan masa lalu yang
menyedihkan yang terkadang jika dia mengingat peristiwa itu, maka air
matanya akan jatuh dengan sendirinya walupun dia sudah berusaha untuk
tidak menangis. Peristiwa kelabu yang membuatnya berhenti tersenyum dan
tertawa, dan membekas dilubuk hatinya hingga sekarang.
Peristiwa itu terjadi ketika Schiffer baru berumur 6 tahun, saat dia
masih duduk di sekolah dasar. Suatu hari kedua orang tuanya mengajaknya
pergi jalan- jalan ke pasar malam Palangkaraya. Saat itu terlihat jelas
raut kegembiraan terpancar dari Schiffer yang masih kecil ketika orang
tuanya membelikan sebuah jam tangan kecil berwarna pink. Ya, sebuah jam
tangan sebelum mereka berdua akhirnya meninggalkan Schiffer untuk
selamanya.
“Ya mama masa aku dibelikan jam tangan warnanya merah muda. Schiffer
kan malu kalau nanti masuk sekolah diejek teman- teman” ujar Schiffer
yang wajahnya merah karena di ejek Halwa sewaktu ikut bersama ibunya
membeli jam tangan untuk si Halwa.
“Tidak apa Schiffer yang penting kamu bisa memakainya” ujar ibunya
“jadi kamu punya sesuatu yang bisa dilihat kalau kamu tidak bertemu mama
dan papa lagi” sambungnya sambil mengelus rambut Schiffer ”Ya ma
lagipula bentuknya bagus aku suka”.
Lalu seorang lelaki berumur 28 tahun yang wajahnya putih bersih dan
suka tersenyum datang menghampiri mereka dialah ayah Schiffer. “Nah itu
papamu baru datang beli makanan” sambil menunjuk kearah ayah Schiffer.
“Maaf ya membuat kalian menunggu lama, ini papa beli makanan dari seberang jalan” kata papa Schiffer sambil tersenyum.
“Ah papa ini dari tadi kami sudah lama menunggu, hampir saja kami mau
meninggalkan papa pulang” menoleh sambil berkedip ke arah Schiffer yang
diikuti dengan senyuman Schiffer.
“Ah kalian ini wajar lah antriannya lumayan banyak” jawab ayah
Schiffer sambil tersenyum. “Oh iya Schiffer bagaimana tadi kamu di
belikan apa oleh mama?” tanya ayahnya pada Schiffer sambil duduk
disamping mereka berdua.
“Aku tadi dibelikan jam tangan bagus sekali” kata Schiffer dengan semangat menggebu pada ayahnya.
“Lalu?” tanya ayahnya
“Lalu mama belikan tapi warnanya pink terus waktu membelinya kami
betemu dengan Halwa, melihat jam tanganku dia mengejekku katanya jam
tangan itu cocoknya dengan anak perempuan bukan anak laki- laki” jawab
Schiffer dengan wajah cemberut.
“Tidak apa- apa asalkan kamu suka kamu boleh memakainya tapi ingat
jam tangan itu harus dijaga baik- baik supaya tidak cepat rusak ya”
sambil melontarkan senyuman kepada Schiffer dan istrinya. “Karena
harinya sudah jam sepuluh ayo kita pulang, nanti besok kamu terlambat
masuk sekolah” kata ayah Schiffer lalu berjalan kearah sepeda motor
diikuti oleh istri dan anaknya lalu pulang kerumah.
Ketika hampir sampai dirumahnya tepatnya tinggal melewati perempatan
jalan lagi, tiba- tiba melintas sebuah mobil dengan kecepatan tinggi
melesat dari arah lain rupanya sopirnya agak mabuk minuman keras ketika
mengemudi.
“O.K. coy malam ini kita pesta di tempatnya Junaedi” teriak salah seorang yang duduk disamping sopir.
“Yeaahh kita pesta di tempatnya Junaedi disana banyak cewek cakepnya” tukas sopir.
Dua orang yang dibelakang juga tak mau kalah “ooooyyy meeen nanti
tanding minum ditempat Junaedi siapa yang kalah bayar 200 ribu” sahut
mereka berdua sambil menenggak bir yang isinya hampir habis.
“Okelah kalau begitu” jawab sopir sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi.
“Aaaaa! Didepan ada motooor, awaaaaass!”
“Hah” ayah Schiffer menoleh kesamping dan berusaha menghindar dari
terkaman mobil maut yang menghampiri mereka di ikuti teriakan Schiffer
dan ibunya yang terkejut karena tiba- tiba mobil yang kecepatannya
seperti setan gila itu datang menghampiri dan menabrak mereka. Ibunya
memeluk Schiffer kuat- kuat dan mereka bertiga terlempar dari sepeda
motor, ayah dan ibu Schiffer keadaannya sangat kritis, sedangkan
Schiffer pingsan tak sadarkan diri.
“Coyy kita sudah menabrak orang, tiga lagi” kata si sopir.
“Aduh aku tidak mau dipenjara, jadi kita harus bagaimana” tanya rekan
disebelahnya sedangkan kedua orang yang duduk dibelakang sopir
ketakutan diam seribu bahasa sambil membayangkan jika mereka harus
membekam didalam sel yang dingin dan mengerikan jika mereka tertangkap
polisi nantinya.
“Ayo cabut men, kita kabur dari sini!” rekan disebelahnya memberi
instruksi pada sopir agar segera meninggalkan tempat kejadian. Mereka
pun langsung tancap gas melarikan diri dari tempat kejadian.
Sekumpulan anak muda yang berjalan- jalan disekitar perempatan tempat
kecelakaan melihat mereka dalam kondisi sangat parah maka mereka
berinisiatif mengantarkan mereka bertiga kerumah sakit dan melaporkan
kejadian itu kepada polisi, Schiffer selamat, tetapi sayang nasib
menjemput kedua orang tuanya.
Schiffer memang selamat tetapi mengalami luka yang cukup parah, kaki
kirinya patah dan tangannya lecet sehingga harus dioperasi tetapi
untunglah kata dokternya kainya bias dipulihkan selama enam bulan dia
harus berada di rumah sakit ditemani paman dan bibinya, paman Alex dan
bibi Marina. Selama itu pula wajah Schiffer murung dan menggenggam erat
jam tangan pemberian ibunya sambil menangis sesegukan.
“Sudahlah Schiffer jangan menangis nanti ayah dan ibumu akan sedih
disana” kata paman Alex sambil mengelus kepala Schiffer mencoba untuk
menghiburnya.
“Nah kamu sudah dengar kan apa yang tadi dikatakan paman bukan” kata
bibi Marina yang dari tadi duduk disebelah kanan ranjang Schiffer
bersama dengan paman Alex. “Jadi kamu tidak usah bersedih lagi karena
ayah dan ibumu pasti bahagia di dalam surga” lanjut bibi Marina.
“Ya biarlah kami yang mengasuh dan merawatmu dan anggap saja kami
sebagai ayah dan ibumu” kata paman Alex dengan tatapan kasih saying.
“Tapi aku mau ketemu papa dan mama” yang dari tadi menangis
mengeluarkan air mata derita karena ditinggal kedua orang tuanya pergi
dan takkan kembali lagi.
“Papa dan mamamu sudah tidak ada disini lagi sayang kamu mau membuat
papa dan mamamu sedih disana” tanya bibi Marina kepada Schiffer yang
dari tadi masih menangis. Schiffer pun menggeleng dan berhenti menangis
walaupun air matanya masih jatuh berguguran bagai air mengalir dimusim
penghujan dan wajahnya semakin murung karena mengingat peristewa yang
telah menghilangkan kedua orang tua dari hadapannya.
“Nah begitu seharusnya keponakan kami” ujar bibi Marina diikuti
dengan senyuman paman Alex. “Nanti ketika kamu sudah sembuh kita sama-
sama melihat makam papa dan mamamu ya” lanjut bibi Marina yang dijawab
dengan anggukan pelan Schiffer pada bibi Marina.
Sejak saat itulah Schiffer tidak pernah tersenyum apalagi tertawa,
jika dia melihat jam tangan pink yang diberikan oleh ibunya dulu. Maka
pastilah air matanya mengalir walaupun dia sekuat tenaga untuk
menghalaunya